legowobalik

Legowo balik; pulang dengan rasa lapang dan ikhlas.

Le gowo balik; nak, bawalah pulang ke rumah.

Satu tahun pasca lulus kuliah, kiranya inilah petualangan kehidupanku di mulai.

Pasang surut kehidupan di mulai.

Kompleksitas permasalahan kian rumit.

Berulang kali kita dihadapkan pada kegagalan.

Kalau aku perlu catat, mungkin 5 lembar pun tak akan cukup memuat sederet kegagalan yang pernah aku terima selama ini.

Namun, pernahkah aku benar-benar lega?

Duduk termangu, selintas memoar kegagalan itu muncul dalam ingatan.

Betul kah aku sudah ikhlas?

Penolakan, kegagalan, tidak puas, dan sederet emosi lain bak pil pahit kehidupan.

Apakah sisa-sisa rasa penyesalan itu masih bersemayam?

Atau... aku memang dipaksa menelannya begitu saja?

Kerap kali, aku membaca warta mengenai sikap seseorang dalam menangani penolakan dan kegagalan.

Ada lah ia menjadi dendam kesumat hingga berujung nyawa yang tak selamat.

Apa "hidup memang brengsek, tetapi hidup terus berlanjut" merupakan kalimat penenang temporer tanpa benar-benar menyembuhkan luka?

Hidup memang brengsek.

Betul.

Namun, apakah hidupku benar-benar berlanjut seperti sebelumnya?

Apa tindak tanduk, pemikiran, prinsipil hidup akan tetap sama seperti sedia kala?

Lalu, apakah kebrengsekan hidup itu akan menguak kebengisan diri yang selama ini dipendam untuk memuaskan ego yang terluka?

Bagaimana cara yang betul menuntaskan segala kerumitan ini?

Mulai dari mana?

Harus kepada siapa aku meminta tolong agar mendetoksifikasi pil pahit yang terpaksa ku telan dengan rasa keengganan yang bercokol selama ini?

Bagaimana menerima penolakan dan kegagalan tanpa melanggar nilai normatif?

Kata orang manusia diperkenankan menangis semalaman, tetapi lelaki tidak boleh menangis.

Cemen, katanya.

Kok sulitnya hidup di dunia yang serba kontradiktif gini? Logikanya nggak jalan, ah!

Eh, sebentar... lagu yang ku putar sudah usai, langit mulai temaram, hawa sehabis hujan ngilu serasa menusuk tulang.

Waktunya aku pulang.





Comments

Popular Posts