jika mimpi punya ukuran, standar mana yang kita gunakan?

Pembuka tulisan kali ini mungkin di awali dengan menilik diskursus di sosial media tentang mimpi yang sempat santer di awal tahun ini.

Sebetulnya, topik tentang mimpi itu tidak pernah benar-benar padam.

Mungkin kalau ia berwujud manusia, boleh aku katakan ia tidak pernah mati gaya.

Menurut kalian, judul tulisan kali ini gimana? Sudahkah cukup menggelitik rasa penasaran kalian untuk membaca tulisan ini?

Jujur, aku nggak pandai bikin tajuk yang terlihat keren, bombastis, dan mengesankan. Namun, semoga rasa penasaran kalian tetap terjaga untuk terus membaca pemikiranku tentang ukuran suatu mimpi melalui tulisan ini.

Baik, aku mulai...

Hmmmm, mimpi.

Kita semua pasti sudah sekian kali dihadapkan dengan pemikiran tentang mimpi.

"Aku mau jadi pilot"

"Mimpiku jadi relawan di wilayah 3T"

"Kalau aku tetap hidup saja, sepertinya sudah cukup"

Imaji mengenai konsep mimpi yang pastinya kita lalui tiap harinya dan cenderung diantaranya bersifat dinamis seiring bertambahnya usia dan kenyataan realita.

Apakah kalian pernah meragukan nilai dari mimpi yang kalian sendiri?

"Kenapa mimpiku tidak terdengar gagah ya?"

"Apa mimpiku kurang ya?"

"Kok bisa mimpi orang lain tinggi sekali?"

"Bagaimana ya caranya memupuk mimpi agar tinggi seperti orang lain?"

Kalau kalian pernah merasakan itu, kalian nggak sendirian karena aku pun pernah ada pada titik itu.

Mempertanyakan apakah mimpiku sudah betul dan layak. Pesimis dengan mimpiku. Bahkan merasa mimpiku bak sampah yang tak ayal nilai gunanya pun kosong.

Pernah sekali merasakan hal itu.

Sempat berpikir berulang kali. Adakah yang salah dengan aku? Apakah mimpiku yang salah?

Hingga aku menemukan jawabannya melalui suatu pertanyaan,

'Jika mimpi punya ukuran, lalu adakah standar yang kita gunakan untuk menilainya?'

Dari satu pertanyaan itu, aku mulai sadar bahwasanya tidak ada standar untuk menilai ukuran mimpi dari tiap individu.

Tidak ada suatu pedoman untuk dijadikan perbandingan; tolok ukur; standar baku untuk kita menilai besaran ukuran dari suatu mimpi.

Yang ada hanyalah ruang penghakiman dari lingkungan sekitar mengenai ukuran mimpi itu sendiri.

Padahal bermimpi itu suatu anugerah, tanpa perlu kita nilai ukurannya seperti apa.

Melalui mimpi, kita jalani hari demi hari dengan harapan yang terus terjaga dan membuat kita 'bernyawa'.

"Aku mau jadi menteri"

"Semoga setelah bekerja, aku bisa beli baju di gerai anu"

"Pintaku sederhana. Untuk saat ini, aku mau sembuh"

Kamu lihat, adakah diantaranya mimpi tersebut rendah, remah, dan lemah?

Jawabanku tidak. Mengapa? Karena bagiku, mimpi adalah mimpi.

Biarlah orang lain memiliki porsi untuk bermimpi merengkuh dunia.

Barangkali ruang yang belum dijamahnya merupakan porsi mimpiku yang dapat terlibat di dalamnya.

Karena sekali lagi, mimpi adalah mimpi.



23:32

04.04.24

Sava

Comments

Popular Posts