CERPEN #TAMASA 2

Semua bersaing saling merasa prestisius satu sama lain.

Kompetitif untuk mencapai titik idelisme kita, yaitu kesuksesan.

Penasaran aku dibuatnya.

Lama rasa penasaran itu bersemayam, hingga lambat laun aku lupa mempertanyakannya kembali.

-

Hari ini cuaca terik sekali.

Rindangnya pohon sepanjang trotoar kampus tak dapat membendung sengatan mentari.

Aku gerah; entah karena cuaca hari ini yang membuatku misuh seharian atau karena tugas kuliah yang bikin sakit kepala.

-

Terdiam.

Selama 1 jam ini aku terus memikirkan topik yang akan aku bahas untuk mata kuliah yang berkaitan dengan gender dan seksulitas.

Aku masih berkutat dengan laptop dan buku usang milik perpustakaan yang kujadikan referensi.

Pusing aku, tenggat waktu pengumpulan tugas ini adalah 3 hari kemudian.

Koordinator mata kuliah sudah meneror anggota kelas untuk segera mengumpulkan tugas via surel elektronik.

Tenggalam aku dalam keputusasaan.

Aku sadar dan sudah melihat akhirnya; bayang-bayang indeks nilai D sudah di depan mata.

-

Masih melamun sama seperti 1,5 jam sebelumnya.

Kulihat kanan kiri, siapa tau ide bisa lewat walau hanya sekelebat.

Di sebelah kanan tempat lesehan, ku lihat Maba berdiskusi.

Ku tahu mereka maba, karena pakai id card.

Asyik sekali mereka bercengkrama.

Ku perhatikan lamat-lamat,

“Lo tau ngga ini ada thread baru di twitter.”

“Apaan tuh?”

“Ini ada istri yang lagi spill kelakuan pelakor yang ngerebut suaminya.”

“Oh iya, gue udah liat tadi pagi. Si akun xxx kan, ya?”

“Iya, bener.”

“Ih, belum tau. Mau dong link-nya. Kirim lewat WA ya.”

“Untung si mbak istrinya dah tajir ya.”

“Iya. Jadi, nggak bisa diinjek-injek suami brengseknya itu.”

“YA ALLAH, AKU MAU SUKSES AJA. BIAR BISA NGGAK BISA DIGITUIN SAMA COWOK”

 

Gotcha! Akhirnya …

Terima kasih, adik Maba.

-

Malam harinya, aku memberanikan diri sebagai mahasiswa cupu untuk mengontak kenalanku yang-nggak-kenal-kenal-banget.

Bermaksud untuk menjadi melakukan wawancara dengannya sebagai responden tugasku.

Ia aktivis kampus yang dikenal sebagai wanita pintar.

Kami pernah beberapa kali mendapat kelas yang sama.

Yah, anggapan intelektualis tersebut memang patut aku akui, karena ia aktif di kelas, sang orator ulung, pintar bernegosiasi, dan organisator sekali.

Selain itu, parasnya ayu, mudah bergaul, dan bahkan menjadi role model para adik tingkat.

Tidaklah heran kalau ia selalu disanjung-sanjung sebagai primadona jurusan seantero kampus.

Rasanya pun menjadikannya sebagai responden tugasku kali ini adalah hal tepat dan seantero kampus pasti mafhum.

Ia sangat… luar biasa dan ideal menjadi sosok wanita yang biasa dikagumi di kampusku.

Tak lama, gayung bersambut; ia menerima tawaranku.

Setelah itu, aku bercermin,

‘Aku… not bad, kan ya?’ menyangsikan diri sendiri.

-

Esoknya, kami berjumpa dan melakukan wawancara santai di sebuah coffee shop di dekat kampus.

Syukurlah, agendanya untuk hari ini kosong.

Aku ingin mengucapkan terima kasih atas kedermawannya untuk membantuku.

Kali ini, aku lebih dulu sampai di lokasi.

Sengaja aku berangkat lebih cepat 15 menit.

Gugup berhadapan dengan seorang sepertinya.

-

Ia sampai telat 10 menit.

“Sorry, aku telat. Ada rapat dengan organisasi kampus,” ujarnya saat sudah ada dihadapanku.

As expected.

Nggak apa-apa, kok. Maaf ganggu waktumu,” aku tersenyum canggung sembari memakluminya.

“Tidak apa. Jangan sungkan,” balasnya santai.

As expected 2.

“Lagian aku kasihan melihatmu tidak ada teman. Maka, jangan sungkan, ya?” lanjutnya lagi.

Aku hanya tersenyum lalu menganggukan kepala,

Mengiyakan ucapannya sembari meringis mendengarkan keprihatinannya kepadaku.

-

Setelah mendengarkan maksud dan tujuanku mengenai wawancara kali ini,

Serta alasan mengapa aku memilihnya sebagai respondenku.

Maka,

“Aku mulai wawancaranya ya?”

“Iya, silakan.”

-

Ku tanya temanku tersebut.

“Apa kamu merasa titik idealisme wanita adalah sebagai seorang independen?”

“Yap, aku mengiyakannya dan aku pun berniat menjadi seperti itu.”

“Apa motifnya?”

“Ingin berdiri di ‘kaki’ sendiri. Agar aku tidak diinjak oleh lelaki,” balasnya.

Maka, aku bertanya lagi padanya, “karena lelaki saja? Kiranya, adakah motif lainnya selain itu?”

Oh, sebelumnya aku ingin menegaskan, aku bukan bertendensius apalagi meremehkan. Aku hanya penasaran fenomena ini sedang hangat-hangat diperbincangkan di jagat maya mengingat aku menemukan inspirasi dari obrolan para mahasiswa baru saban hari.

Dia hanya menyerngit, alisnya berkerut tak senang, seraya berucap,

“Kenapa kamu? Kok kamu terlihat tidak kooperatif seperti itu, sih?”

Lho? Bukan. Aku hanya bertanya,” aku ketakutan setengah mati, takut ia mispersepsi dengan gaya bicaraku.

“TAPI KAMU MENYUDUTKAN!” Bentaknya saat itu.

“Aku tidak menyudutkan. Hanya menyatakan konklusi dari jawabanmu.”

“Kamu?!?!? Argh, Tuhan. Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Kamu ini benar-benar sudah ‘dipasung’ sistem patriarki? Atau kamu misoginis?”

“Tidak, bukan begitu. Dengarkan aku dahulu. Aku hanya menyimpulkannya, tapi sepertinya kamu salah paham maksudku. Aku minta maaf”

“Tidak ada salah paham, kamu patriarkis. AKUI SAJA!” Ia membentakku lagi, mengucapkan bahwa aku dicap sebagai salah satu pembenci gerakan feminis.

“Okay, baik. Aku akan mengulangi wawancaraku lagi”

“TIDAK! BUANG-BUANG WAKTUKU SAJA. HOW FUCKED UP ARE YOU?

Ia meninggalkan sendirian.

Aku sudah menebak akhirannya; sampai jumpa di kelas Antrologi Gender pada semester berikutnya dan selamat tinggal pada kehidupan perkuliahan yang tenang.

-

“Andrea, kamu dipanggil pak Mahen di ruang prodi.”

“Okay… Terima kasih ya.”

Matilah aku!

-

“Dre?”

“Iya, Pak” Aku harap-harap cemas dengan responnya.

Ia terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya sembari membaca makalah yang telah aku kumpulkan untuk mata kuliah beliau; Antropologi Gender.

“Makalahnya bagus!”

“A… Apa, Pak?”

“Makalahmu keren, Dre.”

“Hehehe, terima kasih, Pak, tapi saya rasa itu nggak cukup keren, Pak.”

“Kamu ini saya perhatikan diam-diam saja; tidak begitu aktif dalam FGD, tapi ternyata potensial dengan hal-hal terkini rupanya.”

“Kamu mengkritisi isu terkini. Selama saya mengajar, begitu banyak KTI yang membahas tentang feminisme, namun selalu dijajarkan dengan fenomena patriarki. Jelas menang feminisme, saya tahu, saya pun tidak menghina mereka. Namun, saya butuh gebrakan baru. Kamu telah memenuhi gebrakan itu; ekspektasi yang selama ini saya kubur dalam-dalam, Dre.” sambungnya lagi.

“Terima kasih, Pak. Saya biasa-biasa saja sebenarnya, Pak.”

“NO NO! Don’t underestimate yourself. You deserve a lot of attention cause you are talented, Dre”

Aku hanya mengucapkan terima kasih sembari berhehe-hehe, berusaha mafhum dengan tingkah pak Mahen yang selalu mengapresiasi mahasiswa.

-

AKHIRNYA!

Mari ucapkan selamat tinggal pada mimpi buruk untuk mengulang kelas ini.

-

[flashback]

Setelah insiden Joana yang meninggalkanku sendiri di caffee, aku langsung pulang ke rumah dengan tangan kosong.

Kini sudah jam 20.00 dan aku masih belum mengetahui tema yang seperti apa yang akan kutuliskan untuk tugas mata kuliah ini.

Aku terdiam.

Melihat plafon kamarku yang sudah melapuk, rembes karena hujan.

Aku mempertanyakan sekali lagi.

Apa sebenarnya motif menjadi wanita independen?

Mungkinkah untuk disegani para lelaki?

Namun, kupikir-pikir lagi. Ogah sekali kalau bersusah payah, berusaha sekuat tenaga membangun independensi personal demi ditakuti lelaki.

Memangnya kami apa?

Ku pikir, untuk apa repot-repot hanya untuk ditakuti sesama manusia?

Tak perlu lah ditakuti sebegitunya, memangnya menjadi wanita independen merupakan momok yang akan ditakuti oleh lelaki? Kan bukan!

Hmmm… Apakah tidak lebih tepat untuk diri sendiri?

Niat yang bagus bukan?

Berawal dari diri sendiri, kemauan dari dalam diri.

Terasa seperti memiliki motivasi internal untuk menjadi lebih baik, tanpa ada paksaan, tekanan dari pihak mana pun.

Tidak ada pula penghakiman kepada lawan jenis karena dengan meniatkan menjadi seorang independen karena agar tidak disakiti oleh lawan jenis seolah membuat lelaki mendapat paradigma bahwa lelaki adalah keparat yang selalu menyakiti wanita atau membuat wanita merupakan makhluk yang terlihat begitu menyedihkan dan rapuh.

Bukan kah begitu?

Atau aku keliru?

Lalu, alasan untuk tidak diinjak lelaki?

Bukan kah dengan kita menunjukan independensi kita, secara otomatis pula akan terjadi lingkungan yang saling menghargai kemampuan antar semua orang (bukan lelaki saja) dalam kelompok itu.

Ya, aku belum memikirkan kembali, sih, tetapi apakah ini bisa dikatakan ucapan yang menjustifikasi, seolah kita bisa memprediksi masa depan bahwa kita akan diinjak-injak?

Memang benar, betul bahwa kita harus berdiri di atas kaki kita sendiri, namun aku tidak membenarkannya dengan niat ‘agar tidak diinjak oleh lelaki.’

Ah, tapi ini subjektifitasku semata.

Hmmm…

Sekarang sudah jam 23.00, tetapi aku masih bertanya-tanya,

Untuk siapa kita menjadi wanita independen?

Bukankah lebih tepat… demi kita sendiri?

Bukan demi siapa-siapa.

Demi diri sendiri.

Ya, diriku sendiri.

Akhirnya kutemukan jawaban yang sekiranya ‘benar’ untuk diri sendiri.

Motifnya adalah …

untuk mengaktualisasikan diri sendiri dan kembali ke diri sendiri.

Seperti falsafah negara ini; demokrasi.

Jika bisa diandaikan dengan kasusku, maka…

Dari aku, oleh aku, dan untuk aku.

Setelahnya, aku merapalkan do’a, semoga saja Pak Mahen tidak membuang makalah tugasku,

Aku menuliskan judul dari makalah di laptop bututku…

INDEPENDENSI WANITA UNTUK SIAPA?

Oleh Andrea Adiratna.

 

- end.

 

Hai, semuanya! Selamat malam dengan aku di sini. Maaf telat posting, waktu itu mati lampu hampir seharian dan susah sinyal huhuhu. Baru sempet posting sekarang. Cerpen ini cuma gabut aja, sih, jangan diseriusin banget ya. Btw btw btw, aku warning yaaa… Ini beneran subjektifitas dan fiktif banget. Ku persembahkan cerpen ini untuk diriku sendiri yang akhirnya bisa napas legaaaa lepas dari belenggu 2 minggu UTS, Dong Sicheng yang kemarinan ultah, Choi Mingi yang baru aja ultah, dan Xu Minghao serta Kang Gyeongwon yang bentar lagi ultah, hahahaha *Becanda deng, tapi beneran juga gak apa*. Sekali lagi, kalau ada yang menyinggung personal value kalian, aku mohon maaf banget ya, nggak ada maksud kok. Selamat malam, met bobo :D

Comments

Popular Posts