Sing Marai Mumet di Awal Tahun 2024
Halo, frennnn!
Balik lagi sama aku, Sava, di sini. Udah lama banget nggak nge-blog (hadeeuh), ya karena satu tahun belakangan ada kesibukan yang susah ditinggal di dunia nyata, gitu, deh. Oke-oke, di blog kali ini, aku bakal bawain topik yang bersinggungan sama kita sehari-hari.
“Apa tuh?”
“Kita sambut… fenomena information
overload”
JENG JENG!!!!!!!!!
Seperti judulna, “Sing Marai Mumet di Awal Tahun Baru” adalah banyaknya pemberitaan yang overload dan membludak di internet saat ini, terlebih awal tahun 2024 ini menjelang pemilu eaaaaa.
Tujuan tulisan ini simply HANYA
jadi temen bacamu dikala rebahan liat sosmed kok isinya isu ini ini mulu, sih.
Gitu. Namun, harapan BESARKU setelah kalian baca ini kalian bakalan aware sama
isu information overload yang ternyata bakal ngaruh ke segala aspek
kehidupan sosial kalian dan pentingnya punya kemampuan menghadapi dan memproses
ledakan informasi yang membludak DUaaaAARRRRrRR di kanan kiri #ciyeee
#ahaydeeee
*Tidak ada unsur bermuatan
provokasi, ajakan atau imbauan memilih orang tertentu pada saat pemilu dalam
tulisan ini. MOHON DIPERHATIKAN!!!!!!!!!!!!!!! (punten banget euy inimah. Aku
cuma mau mengadvokasi isu yang aku soroti yang barangkali membantu dalam bijak
memilah, mengolah, dan menggunakan informasi yang kalian temui).
Langsung ajaaa, cekidooottt~
—
Kalian tahu ngga, guys, fenomena information overload ini fenomena sosial kek apa, sih?
Nah, berhubung gue anak library science dan skripsi gue nyemplung tipis-tipis ke information behavior dan communication science (keminggris euyyyy HEHEHEHEHE). Gue bakal jawab dari sudut pandang itu ya, conggg.
Information overload ini tuh merupakan fenomena di mana kita — masyarakat — menghadapi kondisi bahwa informasi yang beredar tuh cepet banget dan kuantitasnya membludak dan nggak sejlan sama kemampuan kita dalam menerima informasi tersebut [1].
Jadi kaya informasi datangnya keroyokan, pada saat kita belum siap menghadapi dan handle informasi itu. Perlu diingat bahwa informasi yang kita temui belum tentu faktual, reliabel, dan valid. Selain itu, semua orang bisa jadi kretor informasi di era digital saat ini. Oleh karena itu, kita harus ‘mempersenjatai’ diri sendiri dengan kemampuan untuk mengolah dan memproses informasi yang kita terima biar informasi yang kita konsumsi malah jadi internalized missconception.
“Sok serem banget, sih, Sav”
Lho, memang seram. Tahu, nggak, fren sebenernya information overload ini nggak hanya sekedar fenomena kita ‘papasan’ sama informasi yang bejubel aja, melainkan lebih dari itu… 😨😨😨
Bener. Aku ngga sekedar nebar fear mongering eaaaa, tapi beneran information overload selain ngebawa kita berhadapan sama informasi yang bejubel dan satset banget itu, juga ngebawa dampak negatif.
“CONTOHNYA???”
Oke.
Pertama, fenomena ini bakalan ngehambat kita dalam proses menyimpulkan informasi hingga pengambilan keputusan [2].
“Kok bisa gitu?”
Bisa benget!
Karena seperti yang sudah eug bilang di awal kalau kita nih bakal menemukan informasi yang kecepatan beredarnya tuh satsetbatbet banget, kuantitasnya njubeel sekali, apalagi informasi yang kita temui itu kompleks banget ditambah kemampuan kita dalam menerima dan proses informasi tersebut ngga selaras. Yaudah, wassalam.
Jangankan untuk main goal decision-making, terkadang jika seseorang nggak memiliki kemampuan untuk mengevaluasi informasi tersebut, proses pengklasifikasian informasi juga terganggu karena orang tersebut tidak bisa menempatkan dengan tepat kategorisasi informasi yang mereka temui ini apakah termasuk informasi yang valid, kredibel, dan faktual atau informasi yang bermuatan hoaks, disinformasi, misinformasi, atau bahkan opini pengguna internet yang nggak berdasar.
Jika dari tahap tersebut pun
seseorang tidak mampu menilai secara clear muatan dan isi informasi yang
disampaikan, maka proses pengambilan keputusan yang rasional dan terbaik pun… (I’ve
must admit) rasanya bakalan sulit dicapai 🙁 (based on information behavior) (di luar itu,
seperti kompas moral, kepercayaan & keyakinan, dsb., aku serahkan ke
masing-masing pribadi saja, toh sudah tahu mana yang baik dan buruk ya 😀)
Kedua. Merasa kewalahan saat berinteraksi dengan informasi [3]
“AAAAAAAAARGHHH, kembalikan isi timeline-ku yang penuh meme lucu, akun cewek cakep, cerita kekonyolan menfess kampus, dan ngegoreng el report”
Barangkali kalian ada yang ‘gerah’ sama isi sosial media belakangan ini, yang isinya politik pemilu membludak banget gitu, kan, informasinya? Nah, information overload ini bisa mengakibatkan rasa kewalahan, lho. Bahkan berujung pada anxiety.
“Kata siapa lu?”
“Kata Gorman & Gorman, information overload can lead to real feelings of anxiety, feeling overwhelmed and powerless, and mental fatigue.” [4]
Bahkan, bisa merembet ke masalah kognitif seseorang, sehingga dia bisa ambil keputusan yang kurang bijak atau bisa dikatakan buruk.
NAH, LHO!
Iya, bro. Bayangin setiap hari
kalian harus bergelut melihat berita tentang isu yang itu-itu aja dan kalian
juga kudu breakdown kategorisasi informasi (yang kaya di bagain nomor 2)
agar terhindar dari miskonsepsi informasi yang kalian konsumsi yang KOMPLEKS
& BANYAK BEUD itu.
Kita mungkin pernah mengalaminya pada saat pandemi kemarin. Setiap hari liat berita yang menyesakkan, yang buat kita sendiri tanpa disadari udah ‘capek’ berhadapan dengan informasi tersebut.
Jangankan yang skala global kaya pandemi. Wong ngelihat pemberitaan skandal dan perselingkuhan yang santer dibicarain akhir-akhir ini di sosial media aja, aku ngerasa capek banget. Bahkan ada yang internalized informasi tersebut ke dalam value–nya. Waduh. Semoga kalian bijak dalam menanggapi informasi yang beredar saat ini ya, fren!
“Terus how to cope with this kind of situation, Sav?”
Enough internet for today <3
Beneran. Mending rehat dulu, fren. Kalau kata orang-orang “touch some grass” dulu, euy. Lebih baik batasi hal-hal yang membuat kalian terpapar informasi yang topiknya bikin kalian makin lieur dan takut berimplikasi pada pengambilan keputusan yang kurang bijak.
~
“Lah, terus gimana caranya kita bisa ‘mempersenjatai’ diri dari paparan information overload?”
Caranya dengan mengasah kemampuan diri agar lebih kritis jika dihadapkan informasi yang njubel dan kompleks, seperti mengevaluasi informasi.
Misalkan kalian menemui informasi
yang membludak mengenai suatu isi di sosial media yang microblog macam
Twitter, at least evaluasi informasi dengan mengkritisi hal-hal berikut:
1. Apakah TS (anjaiii TS ngga tuh, kaskusmania bener) (TS
= thread starter alias OP alias kreator informasi) memberikan informasi
apa pun mengenai kualifikasi untuk menulis tentang subjek tersebut?
(misal:
di bio profil nyantumin spesialisasi bidang yang ditekuni atau cuitan di thread
mention kalo doi nulis tentang suatu topik karena punya kapabilitas liniear
di bidang tersebut)
2. Apakah profil penulis menyertakan URL ke situs web
yang mencakup lebih banyak informasi lebih lanjut tentang penulis?
(mirip-mirip
sama poin 1, tapi apakah dia nambahin URL yang memperkuat argumennya bahwa doi
a.k.a TS/OP punya kapabilitas untuk nulis bidang tertentu misale doi cantumin linkedin,
portofolio, website biografi, dsb.)
3. Apakah penulis memberikan biografi yang menyatakan
latar belakang pendidikan dan profesionalnya?
(mirip
juga dengan poin 1, namun ini lebih terperinci sampai bagian education background
checking si TS a.k.a OP)
4. Untuk bisnis atau organisasi, apakah logo atau gambar
yang digunakan untuk gambar yang menunjukkan identitas entitas?
(supaya
menghindari biassss ygy, masa username dan display name instansi,
tapi pakai fotomu sendiri)
5. Apakah penulis mengelola blog, halaman Web, atau situs
lain? Untuk akun Twitter yang memiliki "kepentingan publik"
(misalnya, bisnis, selebritas, pejabat pemerintah)?
(nah,
si OP ni punya afiliasi ke akun mana lagi selain akun pribadinya)
6. Apakah penulis memberikan URL untuk halaman web atau
situs yang menyediakan informasi lebih rinci tentang konten yang diposting?
Jika sebuah informasi di-retweet, dapatkah Anda menentukan sumber aslinya?
(misal: doi mengemukakan pendapat mengenai suatu isu, apakah dia hanya melemparkan cuitan berupa opinion-based atau disertai referensi pendukung)
Untuk evaluasi informasi dalam bentuk microblog macam Twitter contohnya begitu yapz. Kebetulan aku pakai buku punya Tate [5] sebagai rujukannya. Di sana ada banyak contoh pertanyaan atau hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengkritisi isi informasi yang kalian temui dan menyesuaikan dengan platform yang kalian pakai.
Semoga dengan kemampuan literasi yang cakap dan informasi yang berkualitas walaupun di tengah belantara hutan informasi sekalipun, kalian bisa mengambil keputusan yang baik, rasional, dan reliabel, yang nantinya bisa berimplikasinya pada tindak-tanduk yang bijak.
—
Fiuhhhhh~~~
Akhirna beres jugaaaa! Senang banget dan lega sekali rasanya menyelesaikan satu tulisan setelah sekian lama kerjaanku cuma seputaran: ada ide-nyari referensi-nulis 1 paragraf-writer’s block. Riillll. Sampai draft tulisanku ada kali 5 topik, tapi ngga beres-beres perkara kenak mental writer’s block itu tadi huft 🙁
BTW, jangan lupa buat kalian yang di luar alamat KTP urus pemindahan TPS biar bisa nyoblos di Pemilu 2024 ya xixixixixi.
OIYAAAAAAAAAAA, boleh banget ni kalau ada komentar, kritik, saran, diskusi, seperti biasa DM aku terbuka lebarrrrrrrrrrrrr atau kalau mau e-mail anon juga sabi dikirim ke altrnatespectrum@gmail.com yaaaaaaapsss. Scroll juga buat lihat daftar referensinya, kali ini ane memakai style IEEE WWKWKWKWK biar ringkas.
Sampai jumpa di tulisan-tulisanku
selanjutnya,
Sava <3
~~~
Referensinya dulu eaa kakak~~
[1] N. N. Abdullah, D. R. Hidayat, and K. A. Wibowo, “Big Data dan
Literasi Digital dalam Menghadapi Information Overload,” in Communication
and Information Beyound Beyond Boundaries, 1st ed., D. R. Aulianto, C. M.
Karolina, A. Fahrudin, E. R. Wulandari, D. N. Amalina, E. Kustanti, L. R.
Sujana, and S. D. Ekaputri, Eds. Sumedang: Aksel Media Akselerasi, 2019, pp.
30–36.
[2] P. G. Roetzel, “Information Overload in the Information Age: A
Review of the Literature From Business Administration, Business Psychology, and
Related Disciplines With a Bibliometric approach and framework development,” Bus.
Res., vol. 12, pp. 479–522, 2019, doi: 10.1007/s40685-018-0069-z.
[3] N. Xu and R. E. Gutsche, “‘Going Offline’: Social Media, Source
Verification, and Chinese Investigative Journalism During ‘Information
Overload,’” Journal. Pract., vol. 15, no. 8, pp. 1146–1162, 2021, doi:
10.1080/17512786.2020.1776142.
[4] S. Gorman and J. M. Gorman, “Is Information Overload Hurting
Mental Health?,” Psychology Today, 2020.
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/denying-the-grave/202006/is-information-overload-hurting-mental-health
(accessed Jan. 11, 2024).
[5] M. A. Tate, Web Wisdom: How to Evaluate and Create Information
Quality on the Web, 3rd ed. Boca Raton: Taylor & Francis Group, 2019.
Comments
Post a Comment