Ekslusivitas sang Rumah Ilmu dan Jendelanya
Hai semuanya! Pada kesempatan kali ini, aku mau ngebahas tentang inklusivitas buku dan perpustakaan, yang berkorelasi dan nggak bisa terpisahkan satu sama lain.
Sebenernya, ini lebih ke keresahan diri sendiri aja, sih (JIAKH), tapi mau ah aku bagi-bagi. Biar engga resah sendiri hehehe. Oiya, topik ini tuh entah kenapa kaya agak sulit referensinya dan topiknya nggak sesanter kaya narasi "minat baca rendah" yang selalu naik tiap tahunnya. Yak, karena itu juga aku penasaran buanget lah. Podo wae mbek jatuh cinta. Semakin misterius, langka sing ngomongi ndee, yo semakin nggae penasaran, pingin tak kejar!
Itu dia trivia ra mutuku hari ini. Kita langsung lanjut aja ke bahasannya ya. Let's go!!! 🚀🚀
*desclaimer: tiap referensi yang ada di sini, bakal aku cantumin di akhir ya. Suwun :D
------
Buku.
Selalu diasosiasikan dengan kegiatan intelektualitas, kaum elit, eksklusif, cendekiawan. Aksesibilitas sulit, nyaris raib untuk orang kecil karena merupakan barang mewah, kebutuhan tersier.
Kamu mungkin nggak setuju. Sama, aku juga. Namun, pernyataan di atas memang nggak bisa disalahkan sepenuhnya juga, nih, gan.
“Kenapa gitu, Sav?”
Karena pernyataan di atas merupakan suatu produk warisan budaya, bahkan naasnya pemikiran itu langgeng sampai sekarang. Ahmad Tohari, seorang sastrawan, juga berpendapat bahwa terdapat budaya pemikiran yang berkembang di masyarakat Indonesia kalau buku itu eksklusif. Tidak aksesibel untuk kelompok menengah ke bawah. Dan.... ya, pemikiran itu tetap ada, langgeng mengakar kuat hingga sekarang. Bahkan bisa berimplikasi pada rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.
Sumber: portal berita Republika
Terkait aksesibilitas buku yang eksklusif itu, tentu aja hal tersebut juga nggak bisa terpisahkan oleh perpustakaan sebagai tempat untuk menyimpan, menyediakan, melestarikan koleksinya, termasuk buku. Perpustakaan melekat sebagai tempat yang menjadi akses utama menuju buku-buku itu, juga dipandang sebagai tempat suci untuk kaum cendekiawan, elit, dan eksklusif. Hal ini yang mengilhami eksklusivitas buku karena salah satu akses utamanya yang eksklusif, ya koleksi di dalamnya juga dimanfaatkan secara khusus dan terbatas peruntukkannya.
"Lho, jangan ngarang kamu, Sav!"
Eits, engga, bray. Sejarah pembangunan perpustakaan kita—Indonesia— juga pada mulanya lebih condong untuk komunitas peneliti era penjajahan di Batavia, ya… semata-mata untuk tujuan riset bagi para komunitas peneliti pada masa itu. Hmmm….
Sumber: Massil, 1989
Pun sejarah pada ancient library, seperti Perpustakaan Alexandria juga dibangun dengan menyasar kalangan elit filsuf dan cendekiawan saja, sehingga koleksi yang tersedia memang diperuntukkannya untuk itu (ykwim). Kalian bisa lihat sejarah singkat tentang Perpustakaan Alexandria di sini.
atau secuplik singkat riset dari Berti & Costa (The Ancient Library of Alexandria: A Model for Classical Scholarship in the Age of Million Book Libraries)
Apa aja yang disimpan di Perpustakaan Alexandria?
Sumber: Berti & Costa, 2009
*Mungkin kamu bisa baca lebih lanjut di sini.
Akar sejarah perpustakaan yang membuat perpustakaan dipandang sebagai tempat sakral tersebut, kemungkinan mendorong adanya revolusi perpustakaan untuk menjadi lebih terbuka–inklusif– bagi semua jenis kalangan masyarakat. Konsep perpustakaan sebagai community center yang pada mulanya terbatas bagi kalangan elitis kini makin dikikis dan gaung inklusivitas gencar dipromosikan.
Sayangnya, masih banyak ditemukan segelintir orang yang menganggap bahwa perpustakaan adalah tempat yang ekslusif dan sakral hanya untuk suatu kegiatan saja (dibaca: membaca, penelitian, semacam intelektualitas things). Wah, kan jadi sayang banget, ya, guys! :(
Jika pemikiran tersebut langgeng hingga jadi prinsipil seseorang, bisa-bisa orang tersebut underestimate orang lain yang datang ke perpustakaan dengan tujuan yang tidak sesuai dengan prinsip yang diteguhnya.
Misal aku pernah beberapa kali lihat di timeline sosial media yang masih menganggap bahwa perpustakaan itu sakral, sangat ekslusif, dan cenderung menekankan fungsi pendidikannya saja (membaca, meniliti, dan sebagainya), serta menjustifikasikan pengunjung yang datang untuk sekedar refreshing atau library date bareng pasangan itu merupakan bentuk degradasi suatu zaman yang berusaha mengalihfungsikan perpustakaan yang 'seharusnya' sebagai tempat untuk berkegiatan intelektualitas thingy.
Kalau hal tersebut terjadi gimana, Sav?
Tentu GAWAT. Kenapa? Karena fungsi perpustakaan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan menjabarkan pelaksanaan perpustakaan ternyata nggak hanya untuk tujuan intelektualitas aja, guys.
Selain itu, jika hal tersebut bahkan diperbincangkan di forum bebas sosial, bisa buat orang lain yang tadinya merasa ‘perpustakaan milik kita bersama’ dan datang tidak dengan tujuan yang berkenaan dengan intelektualitas itu bisa minder dan ogah ke perpustakaan. Pikirnya, perpustakaan cuma buat hal seperti itu-itu saja, membosankan, stagnan, 'tidak ramah', dan ekslusif, apalagi kalau kena judgement yang enggak enak.
Padahal perpustakaan nggak hanya mendukung fungsi pendidikan dan penelitian saja, ya kan?
Maka dari itu, sebenarnya sah-sah saja kalau kalian datang dengan tujuan refreshing, hunting foto yang instagramable, hanya lihat-lihat koleksi yang tersedia, library date, ikut nonton bareng di perpustakaan, dan lain sebagainya. Asalkan kondusif, nggak neko-neko, mematuhi aturan yang ada, dan ya… sudah sampai situ saja. Nggak ada salahnya perpustakaan untuk sarana rekreasi, kok.
Syukur-syukur datang ke perpustakaan, tertarik tentang perpustakaan dan segala hal di dalamnya. Apalagi sampai memanfaatkan fasilitas dan koleksinya. Hal tersebut bisa mendukung gerakan inklusivitas perpustakaan yang terbuka untuk siapa saja dan tentu saja yang paling utama adalah….
Aksesibilitas buku yang luas! Akses buku untuk siapa saja, bukan siapa saja yang bisa mengakses buku karena kita bisa dengan mudah mengakses buku tanpa perlu menjadi elitis, cendekiawan, atau berdarah biru. Keren kan? Bahkan bisa merubah mindset dan budaya tentang buku (dan berkenaan kegiatan yang berkenaan dengannya) yang dianggap elitis dan ekslusif sehingga bisa saja berdampak pada peningkatan minat baca masyarakat.
Bonusnya lagi adalah jika mindset sang rumah ilmu dan jendelanya inklusif bisa lestari, maka orang-orang dari dari kalangan kelas manapun nggak sungkan lagi untuk membaca dan membaca merupakan suatu budaya yang bisa diterapkan dari usia dini sehingga implikasi jangka panjangnya, minat baca masyarakat juga ikut meningkat dan awareness kegiatan literasi di kalangan masyarakat luas juga semakin terdengar gaungnyaaa! Uhuyyy!!!! :D
Makanya, yuk, datang ke perpustakaan. Manfaatkan fasilitas dan koleksi yang ada karena perpustakaan itu inklusif!!! ;)
Sekian.
Sedikit trivia gak danta (lagi)
HAIII, long time no see yaaaaa!!!!!!!! Akhirnyaaa Sava rilis (asyikk banget) konten baruuu. Lama banget nggak nulis. Brainstorming depan kaca, bikin list yang sekiranya pengen ditulis, bikin outline, riset kecil-kecilan, sampe eksekusinya yang lama setengah mati… muehehehe maafin :D
Gimana hari kalian? Semoga pas baca ini, kalian sehat dan bahagia selalu ya. AAMIIN! Sebelumnya, maaf bingitzzz nggak nulis lama (gak ada yang nungguin juga c y yhaaa sedi *boong) karena susah nyari waktunya, bouzzzz (ngeles). Aku abis beres Kampus Merdeka dan magang wajib dari kampus, makanya bisa sedikit lowong dan ngeberesin tulisan yang sudah seharusnya diberesin hahahaha.
Oiya, kalo ada yang mau didiskusikan juga bisa banget! Aku juga nerima kritik dan saran dari kalian yah, jangan sungkan ya (siapa juga yang sungkan sama lu, enaknya dibantaiiiii aja g c?!?!?!? #canda). Semoga bisa bikin aku makin tercerahkan gitu atau bisa dikoreksi, barangkali ada salah juga akunya.
Yaudah gitu aja sih. Nggak mutu, kan? Hehehehe. See you when I see you, guys!
REFERENSI
Berti, M., & Costa, V. (2009). The Ancient Library of Alexandria: A Model for Classical Scholarship in the Age of Million Book Libraries. International Symposium on the Scaife Digital Library, 1–26. http://www.perseus.tufts.edu/~ababeu/Berti-Costa_Alexandria_Kentucky.pdf
Citra, A. (2016). Dua “Warisan Budaya” Ini Pengaruhi Rendahnya Minat Baca Indonesia. Republika. https://www.republika.co.id/berita/o84rvm384/dua-warisan-budaya-ini-pengaruhi-rendahnya-minat-baca-indonesia
Massil, S. W. (1989). The History of the National Library of Indonesia: The Bibliographical Borobudur. Libraries & Culture, 24(4), 475–488.
Phillimore, I. (2018). What really happened to the Library of Alexandria? - Elizabeth Cox. TED-Ed. https://www.youtube.com/watch?v=jvWncVbXfJ0&t=90s
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan
Comments
Post a Comment