#SIBUK : Laut Bercerita (Leila S. Chudori)



Halo, balik lagi sama saya, Aulia Sava Febiyana. Pada kesempatan kali ini, saya mau membuat segmen baru di blog saya, yaitu #SIBUK atau resensi buku. Nah, sekarang saya mau mengulas buku yang berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Sebelum itu, saya akan memberikan deskripsi singkat mengenai fisik buku tersebut :




Apa yang kalian pikirkan jika mendengar buku berjudul Laut Bercerita? Legenda? Dongeng? Fiksi Romansa? Atau – pernahkah kamu mengira kalau judul tersebut memiliki tema fiksi sejarah Indonesia? He he he. Iya, novel ini bercerita tentang kisah seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris bernama Biru Laut Wibisono yang berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia adalah aktivis yang vokal mengkritik birokrasi yang pada saat itu terkesan otoriter dan anti-kritik. Latar waktu pada tahun 1990an sampai 2000an awal, seakan menguak aktivitas mahasiswa pada saat itu. Sinopsis pun menjelaskan hal serupa,

Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik Gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekolompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.”

Dari sinopsis tersebut, saya yang awalnya memang tertarik dengan buku sosial, sejarah, dan politik pun, akhirnya tertarik membaca novel Laut Bercerita. Kesan pertama dari melihat desain sampul bukunya sangat eye-catching, pemilihan warnanya menggambarkan laut yang curam berwarna biru, terdapat kaki yang dipasung oleh beban berat dan dikelilingi oleh biota laut. Saya sangat jatuh cinta pada desain sampul yang sederhana, namun terdapat pesan bermakna seperti ini.

Kemudian, ada kalimat yang sangat menyita perhatian saya yang ditulis pada awal prolog, yaitu :
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali…




Buku ini dimulai dengan sudut pandang seorang Biru Laut Wibisono. Ia seolah bermonolog dari dasar laut yang curam untuk berbagi kisah kepada Bapak, Ibu, Asmara, Anjani, dan kawan-kawannya tentang hal-hal yang ia lalui selama berkuliah di Yogyakarta. Diawali dengan menceritakan kisah yang terjadi di Seyegan tahun 1991, saat ia dan kawan-kawan aktivisnya pindah markas agar tidak dicurigai dan diciduk aparat jika ingin mendiskusikan koleksi buku-buku terlarang, merencanakan aktivitas pemberontakan kepada pemerintah karena kebijakan birokrasi yang dapat merugikan rakyat kecil, atau kegiatan lain yang dilarang oleh pemerintah pada era itu. Pada saat ini pula, Laut pertama kali bertemu dengan Anjani, sosok yang menjadi kekasih Biru di kemudian hari. Selain itu, pada bagian Seyegan 1991 juga menceritakan kilas balik pertemuannya dengan teman-teman aktivisnya di kelompok diskusi Winatra.

Dilanjutkan dengan bab-bab yang menceritakan situasi dan tahun kejadian berlangsung, seperti di Sebuah Tempat, di Dalam Gelap (1998), Ciputat (1991), di Sebuah Tempat, di Dalam Keji (1998), Blangguan (1993), di Sebuah Tempat, di Dalam Laknat (1998), Terminal Bungurasih (1993), di Sebuah Tempat, di Dalam Khianat (1998), Rumah Susun Klender, Jakarta (1996), dan nama bab terakhir dari sudut pandang seorang Biru Laut Wibisono adalah di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam (1998).

Dari penamaan bab pada sudut pandang Biru Laut, jelas memiliki alur yang maju mundur. Selain itu, banyak hal-hal yang membuat saya terkejut  saat membaca tiap babnya, seperti pengkhianatan dalam pertemanan aktivis di kelompok Winatra, berpindah-pindah tempat tinggal, karena anggota kelompok Winatra termasuk dalam pencarian orang yang saat itu pemerintah gencar melakukan penyekapan kepada para aktivis, penjabaran secara eksplisit mengenai kekerasan fisik yang dilalui Biru Laut dan teman-temannya selama masa penyekapan, dan hal-hal lain yang tidak pernah saya bayangkan dalam akal sehat sebagai sesama manusia.      

Kemudian ada sudut pandang lain yang dibahas dalam buku ini selain sudut pandang Biru Laut, yaitu Asmara Jati, yang merupakan adik dari Biru Laut. Dalam sudut pandang Asmara Jati, ia menceritakan kejadian setelah kehilangan jejak Biru Laut. Di tiap babnya berisi kerinduan, kecemasan, dan kepahitan sebagai seorang keluarga dari aktivis yang status keberadaannya tidak jelas. Bertahun-tahun penantian yang tak berujung membuat ia geram pada pemerintah yang seolah tutup mata hati telinga pada kasus ini. Terdapat empat bab dalam sudut pandang Asmara Jati, yaitu Ciputat, Jakarta (2000), Pulau Seribu (2000), Tanah Kusir (2000), dan di Depan Istana Negara (2007). Sebagai seorang dokter, ia yang tadinya tidak memiliki minat tentang dunia perpolitikan dan birokrasi negara juga turut langsung mendalami dan meneliti laporan-laporan mengenai bagaimana cara penyekapan, kegiatan selama penyekapan, dan hal-hal lain yang membuatnya menemukan titik temu untuk mendapat informasi mengenai Biru Laut.

Sejauh ini, Laut Bercerita merupakan salah satu novel favorit saya karena bisa memberi gambaran mengenai kejadian yang pernah terjadi di Indonesia para era orde baru. Novel ini pun sangat ringan untuk dibaca dan menggunakan gaya bahasa yang sederhana, sehingga mudah dalam memahaminya. Lalu, ada beberapa poin yang mesti saya tambahkan jika ingin membaca novel ini, seperti adanya penggunaan gaya bahasa kasar, penulisan tindak kekerasan yang dijelaskan secara eksplisit dan ada beberapa kisah romantisme yang ditulis secara eksplisit, namun porsinya dikit sekali. Maka, boleh saya katakan novel ini cocok untuk pembaca berusia  di atas 18 tahun, serta sangat cocok untuk orang yang sangat menyukai hal-hal berbau sejarah dan sastra, tetapi juga memuat hal bertemakan keluarga, pertemanan, dan percintaan.

Sekian ulasan dari saya. Saya sangat terbuka atas segala kritik dan masukan yang ada dan mengharapkan adanya saran yang membangun agar saya tetap terus berkembang dan mengevaluasikannya. Terima kasih! 😊


*p.s: Tulisan ini dibuat selain untuk konten blog pribadi, juga untuk penilaian UAS mata kuliah Penerbitan Media yang diampu oleh ibu Jazi. Aulia Sava Febiyana - 1304011930073 (Ilpus B 2019 - UNDIP)


29/5/2020

Comments

Post a Comment

Popular Posts